Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

Powered By Blogger
RSS

Analisis Cerpen Mbok Jah


Analis Cerpen  "Mbok Jah"
     Lebaran, ya lebaran mugkin yang akan banyak dinantikan kehadirannya, karena lebaran banyak memberikan syindrom-syindrom kebahagiaan bagi semua kalangan terutama masyarakat muslim di dunia. Banyak diantaranya yang menjadikan momen lebaran sebagai ranah untuk memberikan sedekah bagi kalangan yang tidak mampu, terkadang segelintir orang menjadikan lebaran sebagai mencari rizki dengan membuat lapak-lapak makanan kecil atau pengamen jalanan. Status orang ‘berada’ lagaknya semakin membumbung tinggi dengan kemampuan yang lebih dari kaum yang kalah. Hiruk pikuk lebaran juga menjadikan segelintir orang sebagai momok yang mencekik para kaum jelata, karena biaya bis-bis kota melonjak tajam, sudah barang tentu bagi orang miskin untuk mudik di kampung halaman hanyalah mimpi
Dalam cerpen “Mbok Jah” Umar Kayam mengambil tema tentang hiruk-pikuk Lebaran dari sudut pandang yang sama sekali ‘beda’. Ia seolah menghadirkan sebuah kesadaran yang dalam bahwa lebaran tak serta merta menjadi momen yang membuat semua orang bahagia; Bahwa ada sebagian orang yang tak bisa ikut merasakan kebahagiaan yang datang bersama lebaran. Orang-orang itulah yang menjadi sorotan dalam cerpen-cerpen Umar Kayam termasuk dalam cerpen “Mbok Jah” yang tidak pernah berkumpul dengan keluarganya. Membaca cerpen-cerpen Umar Kayam, kita seperti dihadapkan pada suatu ruang yang membuat kita tersadar betapa di tengah-tengah rasa gembira yang kita rasakan seiring datangnya lebaran, ada orang-orang ‘malang’ yang justru merasakan hal yang berbeda. Ada orang-orang yang ‘kalah’ dalam kerumunan orang-orang yang merayakan ‘kemenangan’. Itulah  suasana (atmosphere) yang sering terjalin dalam cerpen-cerpen Umar Kayam termasuk dalam cerpen “ Mbok Jah”.
 “Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung” keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meski pun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang dan tentram.
Buat seorang janda yang sudah selalu tua itu, apalah yang dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya. Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya.
             Cerpen “Mbok Jah” Karya Umar Kayam” menceritakan tentang kehidupan seorang pembantu yang sudah dua puluh tahun mengabdi kepada majikan keluarga Mulyono. Perlakuan baik dan penuh tepa selira selalu di dapat oleh Mbok Jah. Dalam cerpen ‘Mbok Jah’, Umar Kayam menghadirkan suasana sendu tentang kehidupan seorang pembantu rumah tangga yang ‘sudah pensiun’ dari pekerjaannya. Diceritakan, Mbok Jah, pembantu tersebut, sudah beberapa kali tak balik ke rumah majikannya pada saat Lebaran karena kondisi kesehatannya yang tak lagi mengizinkan. Padahal, dulu, saat ia pamit pulang pada majikannya di kota, ia berjanji untuk menyempatkan diri balik ke kota di saat Lebaran datang, untuk berkumpul bersama keluarga majikannya dan memasakkan masakan khas Lebaran untuk mereka. Namun, Mbok Jah tak lagi ‘sanggup’ menepati janjinya itu.
Karena Mbok Jah tak lagi datang selama dua kali Lebaran, keluarga majikannya pun mengunjungi Mbok Jah ke kampung. Mereka khawatir terjadi yang tidak-tidak pada Mbok Jah. Memang, karena Mbok Jah sudah lama (berpuluh tahun) bekerja pada keluarga itu, mereka sudah menganggap Mbok Jah sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri. Masakan Mbok Jah selalu dinanti-nanti setiap kali lebaran tiba.
Meski setelah sampai di rumah Mbok Jah mereka menemukan pembantu yang setia itu dalam kondisi sehat wal’afiat, namun mereka tertohok oleh suatu kenyataan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Mbok Jah tinggal di sebuah gubuk reyot di dataran tinggi Gunung Merapi. Bayangkan, gubuk kecil tersebut hanya memiliki satu ruang ‘multifungsi’, tempat semua kegiatan rumah tangga Mbok Jah dijalankan. Selain tempat memasak, ada sebuah amben, yang  berfungsi ganda sebagai ‘tempat duduk’ tamu dan ‘tempat tidur’ Mbok Jah. Namun, Mbok Jah tetaplah ‘hadir’ di depan majikannya sebagai seorang abdi yang setia dan patuh. Ia begitu terharu begitu mengetahui majikannya dari kota datang jauh-jauh ke sana, sengaja mengunjunginya.
…………..”
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya mbok Jah langsung saja menyibukkan dirinya menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian menyaksikan bagaimana mbok Jah mereka yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam termpat mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan sudah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api. Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah.”
Suasana sendu dan haru dalam cerpen ini kian jelas terbaca ketika Mbok Jah bersikeras menghidangkan masakan ‘khas’ kampung pada majikannya. Dengan cekatan, Mbok Jah menyiapkan sajian makan siang untuk majikannya berupa sambal terasi dan daun ubi rebus. Hal ini membuat sang majikan tersadar betapa hidup Mbok Jah begitu susah. Di rumah mereka di kota, Mbok Jah bahkan boleh dibilang sudah terbiasa memasak spaghetti dan masakan mewah lainnya. Tapi, keadaan Mbok Jah di desa sungguh jauh berbeda.
Tokoh Mbok Jah adalah contoh yang paling baik dari sosok orang-orang ‘malang’ yang tak merasakan kehangatan lebaran ini. Mbok Jah yang sudah ditinggal putra semata wayangnya, itu menjalani hari-hari tuanya sendirian di kampung. Pun, uang yang dulu ia kumpul sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya, yang kemudian ia gunakan untuk mengurus tanah warisan keluarga, habis tak berarti. Keluarga yang dulu ia percayai untuk mengurusi tanah tersebut ternyata tak melakukan apa yang diharapkan Mbok Jah. Harapannya untuk bisa hidup tenang di hari tua, nampkannya tak akan pernah terwujud. Namun, di atas semua itu, Mbok Jah tak pernah mengeluh. Ia menerima semuanya dengan ikhlas, nrimo – kearifan yang tak lagi banyak dimiliki orang.
Dalam cerpen yang berjudul ”Mbok Jah”, cerpen ini umar kayam ingin memberikan pesan bahwa sebuah kesederhanaan dan kerendahan hati sangat diperlukan. Karya sastra memang tidak pernah terlepas oleh realitas. Kentalnya nuansa jawa termasuk di dalamnya nuansa Yogyakarta dan Gunung Kidul muncul sebagi latar tempatnya yang membuat semakin kental suasana masyarakat jawa yang sangat kentara menarik pembaca, sehingga dengan mudah mengikuti alur ceritanya.
Umar kayam melukiskan sebuah pesan moral dengan sangat sederhana namun dapat memeberikan kesan yang mendalam tentang pesan yang akan disampaikan melalui cerpen ini. Cerpen Mbok Jah, yang menceritakan bagaimana sebuah kesederhanaan dan kerendahan hati seorang pembantu rumah tangga, yang sangat santun dengan sifatnya yang “ndesani” sangat kentara ketika memanggil majikannya sebagai “ndoro” yang pada masa sekarang sarat dengan kesenjangan social, namun dalam cerpen “ Mboh Jah “, digambarkan sosok yang patuh dan sayang kepada majikannya. Dibuktikan dengan ketidaksetujuan dari pihak keluarga Mulyono ketika mendengar Mbok Jah ingin pergi ke kampungnya. Sosok Mbok Jah digambarkan sebagai sosok yang sangat penting dalam kehidupan Mulyono
Diketahui bahwa kehidupan dalam budaya ( kultur ) jawa adalah kehidupan yang penuh dengan adat dan kebiasaan yang santun, selain itu kebudayaan jawa mengajarkan bagaimana kita berperilaku dan bermartabat baik, jujur, dan ihklas dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan, yang sarat dengan kearifan lokal yang kental dengan adat ‘desa’ nya.
Dalam cerpen Mbok Jah ini digambarkan bagaimana kerendahan hati dan kesederhanaan berdampingan dengan rasa tidak ingin menyusahkan orang lain yang diperankan oleh Mbok Jah. Rasa ngrumangsani atau melihat diri sendiri, mengabdi secara iklas tanpa minta imbalan yang lebih-lebih memberikan pelajaran moral yang sangat berharga bagi kita.
Pada jaman sekarang, rasa ngrumangsani dan rendah diri sudah mulai pudar dan hilang. Sekarang sudah menilai sesuatu dengan ukuran benda atau materi. Rasa iklas dan setia sudah mulai hilang dari masyrakat kita, khususnya para pekerja dalam pemerintahan. Pengabdian kepada pemerintah, bangsa dan Negara hanya sebagai kedok atau topeng untuk memperkaya diri sendiri.
Rasa rendah diri dan kesederhanaan aganya harus mulai dibangun dalam pola piker masyarakat sehingga menumbuhkan adanya kepekaan terhadap lingkungan sekitar khususnya kepentingan bersama. Jelaslah bahwa Lebaran itu multidimensi dan multiaspek. Unsur agama berbaur dengan unsur tradisi/kebudayaan, unsur gengsi, unsur ekonomis, dan lain-lain.






























 

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar